Katak hendak jadi lembu.
Ketika terjadi insiden di perairan Bintan, rakyat marah. Betapa tidak? Pemerintah membisu seribu basa, sementara insiden tersebut menyangkut masalah harga diri serta kedaulatan negara. Masa sih 3 orang petugas negara yang berseragam di “barter” dengan nelayan pencuri ikan. Kedubes dan konjen Malaysia di beberapa kota besar jadi sasaran demo di mana-mana dan semuanya berlangsung kasar. Malaysia memang pantas menerima perlakuan seperti itu. Para demonstran hanya meminta pemerintah Malaysia minta maaf atas terjadinya insiden itu. Namun alih-alih minta maaf, dia malah menggertak “minta pemerintah Indonesia menertibkan demonstrasi. Kalau tidak, Indonesia akan menghadapi kemarahan rakyat Malaysia”. Eh galakan dia, pakai mengancam lagi. Apakah karena masih ada Five Powers Defence Arrangements yang melibatkan Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru dan Inggris? Jangankan mendapat ancaman seperti itu, diancam dengan ultimatum saja pun rakyat tidak pernah mundur. Surabaya menjadi saksi ketika rakyat menganggap sepi ultimatum tentara sekutu agar para pejuang meletakkan senjata. Indonesia. Barangkali mereka memang menderita sindrom inferior. Rakyat Malaysia tidak pernah terancam, teruji apalagi berperang, untuk merebut kemerdekaan misalnya. Mereka hanya menerima kemerdekaan. Dalam hal ”ketokohan” di kawasan Asia Tenggara pun mereka ada di bawah bayang-bayang Indonesia, sehingga mereka merasa inferior terhadap Indonesia. Gertakan mereka itu hanya kompensasi (namun berlebihan) atas rasa inferiornya itu. Begitulah akhirnya karena ingin superior terhadap Indonesia, mereka menjadi bak kata pepatah seperti katak hendak jadi lembu.
Kecewa.
Namun lebih celaka lagi, menghadapi tantangan dan ancaman itu, pemerintah kita seperti linglung. Respons pemerintah sepertinya tidak mencerminkan aspirasi rakyat.Semua kecewa, kecuali Ketua DPR. Jauh-jauh hari ia sudah mengatakan perang tidak ada untungnya. Lha wong perang demi harga diri kok mikir untung rugi, kalah-menang. Seperti pedagang saja. Yang menguntungkan ya memang membangun gedung DPR baru, kaleee. Dasar pecundang. Semua menunggu apa yang akan diucapkan Presiden di Mabes TNI malam itu. Astagfirullah, pidato yang diharapkan memompa semangat dan mengembalikan harga diri, ternyata mengalir tanpa nyali. Rasanya pidato itu kurang pas kalau diucapkan di Mabes TNI. Memang presiden mengutamakan langkah diplomasi, kata orang. Namun kenapa orang suka memisahkan diplomasi dengan kekuatan militer, seolah-olah diplomasi ya diplomasi, militer ya militer. Orang-orang seumur kita pasti masih ingat benar betapa pedenya para diplomat kita di PBB karena dukungan manuver Angkatan Perang kita kala operasi pembebasan Irian Barat. Masih ingat kan pertempuran laut Arafuru? Atau Pasukan Naga menyerbu Merauke? Atau kapal selam KRI Candrasa mendaratkan pasukan RPKAD di teluk Tanah Merah yang dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Ada pepatah latin yang mengatakan barang siapa ingin damai harus siap untuk berperang. Diplomasi beginilah yang bukan diplomasi omong kosong. Artinya? Ya itu tadi, diplomasi yang tanpa dukungan militer sama juga omong kosong.
Catatan:
Wah mas Soes kok emosi banget ya, ya begitulah rata-rata generasi pasca revolusi – di mana lahirnya saat menjelang Jepang mendarat di Indonesia. Jaman perang kemerdekaan sudah berumur sekitar 6 tahun s/d 10 tahun. Kalau kita dengan kepala dingin mencoba menganalisis jalan keluarnya – sebaiknya kita bisa menangani hal berikut ini:
1. negara dengan sumber daya alam yang melimpah ruah ini, sepatutnya kita tidak perlu membiarkan anak bangsa harus bekerja untuk bangsa lain sebagai tenaga kasar (“Indon” istilah populernya di Malaysia). Taruhlah kalau dimulai dari sekarang 15 tahun lagi TKI tanpa skill tinggi tidak ada lagi yang harus cari makan di luar negeri (apa bisa? – masak RRC saja dengan penduduk yang sebegitu besar bisa kok, apalagi Indonesia).
2. sudah saatnya membuang gaya kepemimpinan yang flamboyan, yang selalu disibukkan dengan menjaga citra pribadi, tanpa peduli nasib rakyat yang memilihnya.
3. siapkan TNI yang kuat dan disegani, sehingga tidak ada yang berani melecehkan kita. TNI yang kuat itu ya yang mutunya prima, baik SDM nya maupun sistem senjatanya. Salah satunya ya para pimpinannya dapat membuat sejahtera para projuritnya, sehingga dapat menjalankan tugas dengan lugas, dan dengan masa depan yang pasti – kalau sudah pensiun ya tinggal menikmati masa pensiunnya, sambil bernostalgia – sesama purnawirawan – dan bercanda dengan anak cucu.
Nah, kalau itu semua bisa terwujud, maka negeri ini bakalan menjadikan bangsa lain banyak yang iri, karena benar-benar menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi. Kuncinya – salah satunya adalah sang pemimpin harus memimpin dengan tegas, dan tak kenal kompromi. Korupsi serta salah urus harus bisa dihapuskan. Bisakah? Kembali kepada diri kita sendiri, bukan soal bisa, tetapi soal mau apa tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar