Rabu, 14 Desember 2011

Pasukan – Pasukan Khusus Militer Islam yang Paling Disegani Di Dunia

1. Mujahidin

Seorang Mujahid (Arab: مجاهد, muǧāhid, secara harfiah adalah “pejuang keadilan” atau “pejuang-kemerdekaan”) adalah seseorang yang berjuang untuk kebebasan. jamak adalah mujahidin (Arab: مجاهدين , muǧāhidīn). Kata ini dari bahasa Arab yang sama triliteral sebagai jihad atau “perjuangan”. Mujahidin juga dialihaksarakan menjadi mujahidin, mujahedeen, mujahidin, mujahidin, Mudžahedin-Mudžahid (Bosnia), mujaheddīn dan varian.
Dalam bahasa Inggris, kata Mujahidin tercatat sejak tahun 1958, dari Pakistan, diadopsi dari bahasa Persia dan Arab, sebagai jamak dari mujahid “orang yang berjuang dalam jihad”, dalam penggunaan modern, untuk “gerilyawan Muslim.”

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, istilah “mujahidin” menjadi nama berbagai pejuang bersenjata yang menganut ideologi Islam dan mengidentifikasi diri mereka sebagai mujahidin.

Mujahidin Afghanistan


Dari berbagai kelompok Muahidin yang ada di seluruh dunia, yang paling terkenal tentu saja selalu Mujahidin Afghanistan. Pada awalnya, kaum Mujahidin berperang melawan pemerintah Afghanistan yang disetir Soviet pada akhir 1970-an. Uni Soviet keluar dari Afghanistan di akhir 1980-an karena tidak kuat melawan para mujahidin.
Banyak muslim dari negara-negara lain menawarkan diri untuk membantu kelompok mujahidin di Afghanistan, dan memperoleh pengalaman yang signifikan dalam perang gerilya. Pada periode ini, Mujahidin yang paling terkenal adalah Abdullah bin Azzam.

Ketika Jawa dan Sumatera Terpisah



Para ahli telah bersepakat bahwa Pulau Jawa dengan Sumatera dulu menyatu. Bersama Kalimantan, kemudian membentuk dataran yang disebut Sunda Besar. Pemisahan Jawa dan Sumatera diyakini adalah akibat gerakan lempeng Bumi, walaupun tak sedikit yang berpendapat bahwa letusan Gunung Krakatau sebagai penyebab pemisahan ini.

Pendapat yang mendukung pemisahan Jawa dan Sumatera karena letusan Krakatau biasanya mengacu pada Pustaka Raja Purwa, yang ditulis pujangga Jawa, Ronggowarsito, pada tahun 1869. Dalam buku ini dikisahkan, letusan Gunung Kapi—yang belakangan diidentifikasi sebagai Gunung Krakatau—menjadi penyebab pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera. Peristiwa ini disebutkan terjadi pada tahun 416 Masehi.

Peneliti dari Los Alamos National Laboratory (New Mexico), Ken Wohletz, termasuk yang mendukung tentang kemungkinan letusan besar Krakatau purba hingga memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera. Dia membuat simulasi tentang skenario letusan super. Namun, berbeda dengan Ronggowarsito, Ken menyebutkan, letusan itu kemungkinan terjadi puluhan ribu tahun lalu.

Melalui penanggalan karbon dan radioaktif, para ahli geologi memastikan bahwa Krakatau pernah beberapa kali meletus hebat. “Sepertinya pembentukan Selat Sunda tidak mungkin karena sebuah letusan tunggal besar, seperti ditulis dalam legenda (Pustaka Raja Purwa) itu. Setidaknya ada dua periode letusan besar di Krakatau, tetapi itu sekitar ratusan bahkan ribuan tahun lalu, tidak pada tahun 416 Masehi,” sebut Zeilinga de Boer dan Donald Theodore Sannders dalam Volcanoes in Human History, 2002.

Walaupun pencatatan Ronggowarsito tentang waktu letusan masa lalu Krakatau diragukan ketepatannya, pujangga ini barangkali benar soal “pemisahan” Pulau Jawa dengan Sumatera yang berkaitan erat dengan letusan Krakatau. Namun, pemisahan Jawa dan Sumatera sepertinya bukan karena letusan Krakatau. Sebaliknya, Krakatau terbentuk karena pemisahan kedua pulau ini sebagai produk gerakan tektonik di dalam Bumi.

Geolog dari Museum Geologi, Indyo Pratomo, mengatakan, pemisahan Jawa dan Sumatera terjadi karena gerakan tektonik. ”Pulau Jawa dan Sumatera bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda akibat tumbukan lempeng Indo-Australia ke Euro-Asia. Perbedaan ini menyebabkan terbukanya celah di dalam Bumi,” kata Indyo.

Sebagaimana Indyo, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono juga meyakini proses tektoniklah yang membentuk Krakatau. Pulau Jawa, menurut Surono, bergerak ke arah timur dengan kecepatan sekitar 5 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan Pulau Sumatera bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan 7 cm per tahun. Proses ini menyebabkan Pulau Sumatera bergerak ke arah utara dan meninggalkan Pulau Jawa sehingga membuka kerak Bumi di Selat Sunda.