Sabtu, 08 Januari 2011

Buruknya Layanan Publik di Indonesia


Di tengah carut marut pelayanan publik di Indonesia, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemen PAN) pada 15 Desember lalu,  telah memberikan penghargaan Citra Pelayanan Prima, bagi 83 unit pelayanan publik di seluruh Indonesia. Kinerja unit pelayanan publik tersebut dinilai baik, setidaknya di mata pemerintah, dalam hal ini Kemen PAN. Padahal masyarakat masih sering mengeluhkan terbatasnya kesediaan  infrastruktur pelayanan, kalau pun tersedia pelayanan publik, masyarakat biasanya juga sulit mengakses,  bisa karena faktor jarak ataupun biaya. Dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan fasilitas tersebut,  sementara kalau fasilitas tersedia, ternyata tidak memuaskan.
Soal buruknya pelayanan publik inilah yang menjadi topik bahasan Pilar Demokrasi, Senin (20/12) lalu, yang kali ini merupakan hasil kerja sama antara KBR68H dan YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia). Dengan mengundang dua orang  narasumber, yaitu Bapak Sitorus (Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Pelayanan Publik Kemen PAN), dan Bapak Sabeth  Abilawa (Manajer Advokasi Dompet Dhuafa, organisasi masyarakat sipil yang memberikan layanan publik).
Menurut Sitorus, penghargaan tersebut dimaksudkan untuk mendorong peningkatan pelayanan publik, khususnya dalam soal kecepatan, tepat, murah, aman, transparan dan akuntable. Kemen PAN memberikan penghargaan kepada unit-unit pelayanan publik sejak tahun 1995, berdasar empat aspek. Pertama, adalah visi, misi dan moto pelayanan. Kedua,  sistem dan prosedur. Ketiga, sumber daya manusia pelayanan, dan terakhir adalah sarana dan prasarana dari unit pelayanan itu.
Sitorus melanjutkan    penghargaan dibagi berdasar pengelompokkan. Antara lain pengelompokkan sektor kesehatan, yaitu puskesmas dan rumah sakit. Kemudian ada yang disebut kelompok pendidikan, yaitu  sekolah menengah kejuruan, akademi, kemudian pusat-pusat penelitian yang berkaitan dengan lembaga pendidikan. Kemudian ada lagi kelompok kepolisian, yang memberikan layanan kepada masyarakat,  berupa  SIM dan STNK. Juga satu kelompok perusahaan daerah air minum (PDAM), karena dinilai memberikan pelayanan terpadu satu pintu. Dari keseluruhan sektor, yang paling banyak peroleh penghargaan adalah sektor kesehatan, dalam hal ini puskesmas.
Sementara menurut Sabeth,    pelayanan publik sebenarnya memang tanggung jawab negara,  terkait dengan keluhan masyarakat,  bahwa negara sering kali mengabaikan pelayanan masyarakat, khususnya masyarakat “pinggiran”. Bagi kelompok masyarakat ini,  pelayanan publik masih terasa mahal, sampai muncul anekdot,  orang miskin dilarang sakit, orang miskin dilarang sekolah, dan seterusnya. Ini yang mendorong inisiatif masyarakat sendiri untuk berinovasi menyediakan pelayanan publik yang terjangkau. Dompet Dhuafa menyediakan pelayanan publik secara gratis sejak tahun 2001, yaitu layanan di bidang kesehatan dan pendidikan. Di bidang pendidikan dikenal dengan program Smart Esensia, yang sudah meluluskan dua angkatan, serta 100 persen diterima di PTN.
Sabeth melanjutkan,    bagaimanapun pelayanan publik tetaplah tanggungjawab pemerintah, mengingat sumber dana yang besar dari sektor pajak. “Bila ada anggota masyarakat  berinisiatif menyediakan pelayanan  murah dan berkualitas, seolah-olah kita ingin “menantang” pemerintah, karena pemerintah dianggap selalu abai terhadap permasalahan pelayanan publik,” tegas Sabeth.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar